Perintah memakai jilbab pada dasarnya bukan hanya sekedar perintah yang fungsinya melindungi kehormatan wanita, tetapi juga merupakan ibadah bagi muslimah itu sendiri. Jadi, dengan berjilbab seorang muslimah telah meraup pahala yang besar dari Allah SWT.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam bukunya, “Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fil Kitabi Was-Sunnati” (Jilbab wanita muslimah) mengharuskan jilbab itu memenuhi delapan syarat. Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan, bukan berfungsi sebagai perhiasan, kainnya harus tebal, harus longgar/tidak ketat, tidak diberikan wewangian atau parfum, tidak menyerupai laki-laki, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan sebagai pakaian untuk mencari popularitas (Libasy-syuhrah).
Pertama: Menutup Seluruh Badan Selain Yang Dikecualikan.
Kriteria Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang pertama ialah menutup seluruh badan selain yang dikecualikan. Syarat yang pertama ini sudah jelas termaktub dalam QS. An-Nur ayat 31 dan QS. Al-Ahzab ayat 59.
Kedua ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa jilbab itu harus menutupi seluruh anggota badan, kecuali yang bisa nampak yaitu muka dan telapak tangan. Dari ayat tersebut, ada perkataan Ziinat (perhiasan) yaitu sesuatu yang diperlihatkan dari wanita, baik itu pakaian, perhiasan seperti cincin, dan sebagainya yang dikenal sebagai alat kecantikan. (H. Subhan Nurdin: 1998)
Menurut Imam Al-Qurthuby, ziinat itu terbagi dua bagian, yaitu Ziinat khalqiah dan Ziinat Muktasabah. Ziinat Khalqiah yaitu perhiasan yang sudah melekat pada dirinya, seperti raut wajah, kulit, bibir dan sebagainya. Ziinat Muktasabah, yaitu perhiasan yang dipakai wanita untuk memperindah atau menutupi jasmaninya seperti busana, cincin, celak mata, pewarna dan sejenisnya. Allah berfirman: “Ambillah perhiasanmu ketika ke masjid” (Al-Qurthuby XII: 229).
Ibnu Katsir menyatakan, “Janganlah menampakkan sesuatu perhiasan pun kepada orang asing kecuali yang tidak mungkin untuk ditutupi.” Jadi jelas, setiap wanita harus menutupi auratnya (seluruh tubuh), selain hal-hal yang boleh diperlihatkan.
Kedua: Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Syarat ini berdasarkan firman Allah SWT dan surah An Nur ayat 31: “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.”
Secara umum, kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi sesuatu yang menyebabkan laki-laki melirikkan pandangan kepadanya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab ayat 33: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang pertama.”
Jilbab berfungsi sebagai pelindung muslimah dari godaan laki-laki. Ini berarti jilbab tidak boleh berlebihan atau mengikuti trend tertentu karena memang jilbab bukan perhiasan.
Ketiga: Kainnya Harus Tebal
Kriteria Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah berikutnya ialah menggunakan kain yang tebal. Sebagaimana pelindung wanita, secara otomatis jilbab harus tebal atau tidak transparan atau membayang (tipis). Karena jika demikian akan semakin memancing fitnah (godaan) dari pihak laki-laki.
Keempat: Harus Longgar/Tidak Ketat
Harus longgar atau tidak ketat, sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya. Diantara maksud diwajibkannya jilbab adalah agar tidak timbul fitnah (godaan) dari pihak laki-laki. Dan hal itu tidak mungkin terwujud jika pakaian yang dikenakan tidak ketat dan tidak membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Untuk itu jilbab harus longgar atau tidak ketat.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Ahmad, Abu Daud, dan Ad-Dhiya: “Rasulullah memberiku baju Qubthiyyah yang tebal (biasanya qubthiyyah itu tipis) yang baju yang dihadiahkan Al-Kalbi kepada beliau. Baju itupun aku pakaikan pada istriku. Nabi SAW bertanya kepadaku: “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qubthiyyah?” Aku menjawab, “Aku pakaikan baju itu kepada istriku.” Nabi SAW lalu menjawab, “Perintahkanlah ia agar memakai baju dalam di balik Qubthiyyah itu, karena aku masih khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.”
Kelima: Tidak Diberikan Wewangian atau Parfum
Syarat ini berdasarkan larangan terhadap kaum wanita untuk memakai wewangian bila mereka ke luar rumah. Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar ia menghirup wanginya, maka ia sudah berzina.” (HR. An-Nasa’i).
Hadis lainnya: “Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) ke luar menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mendekatinya dengan memakai wewangian.” (HR. Muslim)
Alasan pelarangan ini jelas, yakni hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Para ulama bahkan mengikutkan sesuatu yang semakna dengannya seperti pakaian indah, perhiasan yang tampak, dan aksesoris yang megah, serta ikhtilat atau bercampur baur dengan laki-laki.
Keenam: Tidak Menyerupai Laki-laki
Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang melaknat wanita menyerupai laki-laki, baik dalam bertingkah laku atau berpakaian. Sabda Rasulullah SAW: “Rasulullah melaknat pria yang menyerupai pakaian wanita dan wanita yang menyerupai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Daud). Adz-Dzabani memasukkan tindakan wanita yang menyerupai laki-laki dan tindakan kaum laki-laki yang menyerupai wanita dalam “al-kabaair” (dosa-dosa besar). Mereka dilaknat dan laknat ini akan menimpa pula pada suaminya yang membiarkannya, meridhoinya, dan tidak melarangnya melakukan itu.
Ketujuh: Tidak Menyerupai Pakaian Wanita Kafir
Syarat ini didasarkan pada haramnya kaum muslimin termasuk wanita, menyerupai (tasyabbuh) orang-orang (wanita) kafir baik dalam berpakaian yang khas pakaian mereka, ibadah, makanan, perhiasan, adat istiadat, maupun dalam berkata atau memuji seseorang yang berlebihan.
Hadis-hadis berikut ini menyatakan: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum itu.” (HR. Ahmad). Kemudian dalam hadis lain, “Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Rasulullah SAW melihat saya mengenakan dua buah kain yang diwarnai dengan ushfar (nama tumbuhan), maka beliau bersabda: “Sungguh ini merupakan pakaian orang-orang kafir, maka janganlah engkau memakainya.” (HR. Muslim)
Kedelapan: Bukan Libasy-syuhrah (pakaian untuk mencari popularitas)
Terakhir, Kriteria Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah: tidak untuk mencari popularitas. Berdasarkan hadis dari Ibnu Umar yang berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan di hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majjah).
Libasy-syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas (gengsi) di tengah-tengah orang-orang banyak, baik pakaian itu mahal maupun bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya.