Teladan Rasulullah SAW tentang Sifat Jujur
Khadijah binti Khuwailid adalah seorang pengusaha sukses di kota Makkah. Beliau mempunyai banyak usaha. Agar semua usahanya tetap berjalan lancar beliau memerlukan pembantu yang dapat dipercaya. Hal ini sangat penting karena risikonya adalah kebangkrutan usahanya.
Khadijah memperhatikan Muhammad, seorang pemuda tampan, baik hati, santun terhadap orang lain, sederhana, dan oleh masyarakat digelari “Al-Amin” yang berarti dapat dipercaya. Setelah yakin bahwa Muhammad adalah benar-benar orang jujur, Khadijah akhirnya menawarkan kepercayaan kepada Muhammad untuk membawa barang dagangannya. Muhammad menerima dengan senang hati.
Muhammad membawa barang dagangan Khadijah dengan jumlah yang cukup banyak. Barang dagangan itu kemudian dijual di negara Syam (Suriah). Sekembali dari negara Syam, Muhammad melaporkan semua hasil penjualan dan keuntungannya kepada pemiliknya dengan apa adanya.
Khadijah makin yakin akan kejujuran Muhammad karena tak sedikit pun hasil penjualan dan keuntungannya dikorupsi. Muhammad makin dipercaya dan akhirnya diminta untuk menjadi suaminya.
Orang Islam Harus Jujur
Itulah AKHLAK nabi kita, Muhammad SAW. Beliau sejak menjelang dewasa digelari “Al-Amin” oleh masyarakatnya. Hal ini karena sejak kecil Muhammad SAW telah menunjukkan perangai dan siat jujur. Beliau selalu bertindak lurus, apa adanya, konsisten, tidak plin-plan, dan tidak pernah berbohong. Sikap inilah yang membuat semua orang senang kepadanya. Dan dari sikap ini pula dakwah yang dilakukan berhasil.
Kejujuran Nabi Muhammad SAW harus menjadi teladan kita. Jujur harus kita praktekkan dalam perilaku kita sehari-hari. Kita harus jujur, baik kepada Allah, kepada diri sendiri, maupun kepada orang lain.
Menegakkan Kejujuran
Jujur artinya sikap lurus hati, tidak curang, tulus dan ikhlas. Orang yang jujur selalu berbuat/atau berkata apa adanya, tidak menambah/atau mengurangi fakta, tidak memanipulasi fakta, dan bersikap obyektif. Kalau sesuatu itu merah, ya dikatakan merah. Kalau dirinya salah, ya mengaku salah, bukan mencari-cari alasan pembenar.
Pada masyarakat yang rusak ada pepatah: “Jujur hancur, lacur makmur.” Jika orang jujur hidupnya malah susah serta sengsara, sebaliknya orang yang melacurkan diri malah hidupnya “makmur”. Ini pertanda bahwa kondisi masyarakat tersebut telah rusak. Di sana pedoman etis, moral, dan akhlak pasti sudah diinjak-injak. Hukum dan aturan sosial dijungkir-balikkan. Yang halal saja susah untuk dicari apalagi yang haram. Perilaku manusia ini tidak lagi dibimbing oleh akhlak mulia tetapi oleh hawa nafsu.
Dalam masyarakat demikian, logika berpikirnya terbalik. Orang jujur malah dikatakan “bodoh”. Sebaliknya koruptor, manipulator, penipu, penjilat dan pembohong malah dikatakan “pandai”. Hati tak lagi peka dengan kemungkaran karena tertutup oleh hawa nafsu. Akibatnya, cermin nurani tak lagi jernih dan bening. Dalam kondisi masyarakat seperti ini, orang beriman tidak boleh larut dengan keadaan. Orang beriman harus tetap menjunjung nilai moral dan berperilaku dengan akhlak mulia. Kebenaran harus dijunjung tinggi dan kejujuran harus ditegakkan.
Memang akan sulit menegakkan kebenaran dan berperilaku jujur. Dan yang lebih sulit lagi kita akan dimusuhi karena berbuat baik dan jujur. Sikap yang benar adalah tetap berkata jujur. Jangan berbohong. Kata pepatah, “Katakan kebenaran meskipun orang tidak suka.” Memang berbuat jujur banyak risikonya. Akan tetapi, kebenaran harus ditegakkan. Tentu dengan cara yang baik, tidak mencelakakan diri.